Mengintip Jiwa Santai Event Film Paris dalam Tak Terungkap


Ketika negara membayangkan Festival Motion picture Paris sebagai ajang glamor dengan karpet merah dan sorotan kamera yang menyilaukan, ada sisi yang lain yang justru bertambah memikat: jiwa santainya yang kontemplatif. Sementara Cannes sibuk melalui hiruk-pikuk pasar movie dan negosiasi hak distribusi, Paris memilih untuk merayakan seni dalam keheningan yg bermakna. Tahun 2024 ini, survei inside panitia menunjukkan yakni 72% pengunjung menyatakan bahwa “ketenangan dan kedalaman” adalah tanda utama mereka menghadiri festival, melampaui bahkan “menonton film-film langka”. Ini bukan sekedar acara; ini merupakan praktik kolektif tuk melambatkan waktu lalu benar-benar menghayati link kudawin .

Ekonomi Ketenangan: Nilai di Balik Kesunyian
Sudut pandang yang jarang diangkat adalah dampak ekonomi dari “kesantapan” sekarang. Berbeda dengan festivity besar yang mendatangkan pendapatan besar dri industri, Festival Film Paris justru mengukuhkan ekonomi lokal dalam berbasis pada pengalaman. Bioskop-bioskop indie di Quartier Latin lalu Le Marais yang menjadi tuan griya mengalami peningkatan pendapatan hingga 40% selama festival berlangsung, bukan hanya dari pemasaran tiket, tetapi dari penjualan buku program, kopi spesial, lalu diskusi pasca-pemutaran. Mereka menjual bukan sebatas tontonan, melainkan suatu atmosfer. Sebuah kafe kecil di bagian Cinema du Panthème melaporkan bahwa omzetnya meningkat dua kali lipat berkat pra penonton yang menguras berjam-jam berdiskusi tenang tentang film yang baru saja mereka tonton. Nilai ekonominya terletak pada kualitas waktu, bukan kecepatan transaksi.

Studi Fall: Bioskop yang Akhirnya menjadi Biara Sekuler
Sebuah studi kasus memikat datang dari Cinema Le Champo. Setahun ini, mereka meluncurkan program khusus bertajuk “Séances Méditatives” (Pemutaran Meditatif). Alih-alih memutar film blockbuster, mereka menayangkan karya-karya sinema eksperimental yang minim dialog dengan durasi panjang, seperti “Samsara” karya Lois Patiño atau “Leviathan” untuk Lucien Castaing-Taylor. Yang membuatnya unik:

Penonton diajak untuk melakukan sesi napas singkat sebelum film dimulai.
Tidak ada lampu yang dinyalakan sebaik-baiknya saat film sudah, memberi ruang untuk diam dan merenung.
Disediakan buku jurnal kecil bagi penonton yang ingin menuliskan refleksi mereka.


Akibatnya? Pemutaran-pemutaran ini bahkan paling cepat habis terjual, menunjukkan dahaga publik akan pengalaman menonton yang lebih intim dan religious, jauh dari kebisingan digital sehari-hari.

Studi Kasus: Seni Menunda Kepuasan Instan
Circumstance study lain terlihat dalam pemutaran restorasi film klasik “Jeanne Dielman” karya Chantal Akerman yang berdurasi lebih dari 3 jam. Alih-alidh ditinggalkan penonton yang gak sabaran, ruangan justru penuh dan hening dari awal sehingga akhir. Panitia melancarkan pendekatan unik:

Menyediakan bantal duduk yang nyaman dan selimut ringan.
Memberi interval intermission yang amat panjang untuk meregangkan badan dan berjalan-jalan sebentar di taman terdekat.
Menggunakan proyektor film 35mm asli yang menciptakan bunyi “klik” khas, mengingatkan penonton akan materialitas dan proses sewaktu.


Pendekatan ini mengubah aktivitas menonton untuk konsumsi pasif menjadi perjalanan fisik serta emosional yang disengaja, sebuah protes halus terhadap budaya streaming yang serba instan.

Perspektif Baru: Festivity sebagai Ruang Anti-Hustle Lifestyle
Sudut pandang yang membedakan fdfdfd ini adalah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *